Kamis, 28 Mei 2009

Paroki Sakramen Mahakudus

Jalan Pagesangan Baru, samping Masjid Al Akbar



Gereja ini mendapat kehormatan istimewa karena diresmikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 10 November 2000. Bersamaan dengan peresmian Masjid Al Akbar Surabaya. "Mungkin baru kali ini ada presiden Republik Indonesia yang meresmikan gereja dan memberikan kata sambutan sangat menarik," kata saya dalam hati saat mendengar pidato Gus Dur. Waktu itu saya termasuk umat paroki ini.

Sebagai pemekaran Paroki Yohanes Pemandi dan Paroki Gembala Yang Baik, paroki ini dibangun berkat kerja keras Romo Johanes Heijne SVD (sekarang almarhum). Proses peizinan panjang dan berliku, tapi beres berkat kebijaksanaan Cak Narto, wali kota saat itu.

Pada 7 Januari 2001 diresmikan sebagai paroki oleh Mgr. Hadiwikarta. Pastor paroki pertamanya, Romo Sonny Keraf SVD, romo asal Lamalera, Flores Timur. Lagi-lagi orang Flores mendapat kepercayaan di kota sebesar Surabaya.
(tulisan dikutip dari radarsurabaya.com)

Gereja Gembala yang Baik

Jalan Jemur Andayani X/14



Awalnya masuk wilayah Paroki Yohanes Pemandi, Wonokromo. Romo Heijne SVD berusaha membangun gereja baru untuk menampung jemaat yang terus berkembang di parokinya. Setelah mengurus izin--prosesnya panjang banget--pada 6 Agustus 1981 mulai dilakukan peletakan batu pertama oleh Romo Heijne.

Pada 14 September 1982 Uskup Surabaya Mgr Klooster CM memberkati gereja ini. Peresmian dilakukan oleh Wali Kota Surabaya Moehadji Widjaja.

Makam Ki Ageng Bungkul



Terletak di Taman Bungkul jalan Progo dalam wilayah Surabaya Pusat. Ki Ageng Bungkul adalah seorang nayaka (keramat) kerajaan majapahit yang sangat tinggi ilmunya (kejawen) yang kemudian menjadi mertua Sunan Giri. Beliau sering berkonsultasi dengan Sunan Ampel mengenai masalah agama Islam sehingga kemudian masuk agama Islam. Ki Ageng Bungkul aslinya bernama Ki Supa, seorang ahli pembuat keris dari Tuban yang semula diminta oleh raja Brawijaya dari Majapahit untuk membuatkan sebilah keris yang bagus. Akan tetapi rupanya keris buatan Ki Supa kurang berkenan dihati raja Wijaya. Ki Supa yang merasa tugasnya telah selesai kemudian kembali pulang. Di perjalanan beliau tertarik pada tempat Bungkul hingga akhirnya menetap di tempat tersebut sampai dengan wafatnya. banyak orang yang berziarah ke makam Sunan Giri, singgah ke makam Ki Ageng Bungkul.

Makam Mbah Ratu

Makam Mbah Ratu yang berlokasi di jalan Demak (Surabaya Utara), dipercaya orang sebagai makam buritan perahu dari Laksamana Zeng Ho dari negeri Cina. Dia mengadakan muhibah pada tahun 1414 dan perahunya hancur di pelabuhan Holandper (Tanjung Perak). Makam ini sebenarnya pindahan dari makam perahu sebelumnya yang ada di Prapat Kurung. Makam ini ramai dikunjungi oleh peziarah pada makam Jum'at Legi dan bagi mereka yang berhasil memperoleh berkah mengadakan Pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk.





Makam Pangeran Yudo Kardono

Makam ini terletak di kampung Kedondong - Surabaya Pusat yang konon merupakan makam dari salah seorang panglima perang Kerajaan Mataram, wafat pada saat ditugaskan oleh Sultan Agung dari Mataran untuk menundukkan Surabaya. Makam ini banyak dikunjungi oleh peziarah yang kebanyakan berasal dari Jawa Tengah khususnya pada hari Jum'at Kliwon.

Joko Dolog

Ditengah kota Surabaya, tepatnya di Taman Apsari, yaitu di jalan Joko Dolog, terdapat beberapa peninggalan kuno yang merupakan warisan budaya nenek moyang. Salah satu peninggalan tersebut adalah arca Budha Mahasobya yang lebih dikenal dengan nama JOKO DOLOG. Pada lapiknya terdapat prasasti yang merupakan sajak, memakai huruf Jawa kuno, dan berbahasa Sansekreta. Dalam prasasti tersebut disebutkan tempat yang bernama Wurare, sehingga prasastinya disebut dengan nama prasastiWurare.

Arca Budha Mahasobya ini berasal dari Kandang Gajak. Pada 1817 dipindahkan ke Surabaya oleh Residen de Salis. Daerah kandang Gajak dulu merupakan wilayah Kedoeng Wulan, yaitu daerah dibawah kekuasaan Majapahit. Pada masa penjajahan Belanda termasuk dalam Karesidenan Surabaya, sedangkan masa sekarang termasuk wilayah desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur.

Arca Budha Mahasobya, yang terkenal dengan nama Joko Dolog ini, sekarang banyak dikunjungi orang-orang yang mohon berkah. Namun jika melihat lapiknya, disebut prasati Wurare, sangat menarik karena memuat beberapa data sejarah di masa lampau.

Angka prasasti menunjukkan 1211 Saka dan ditulis oleh seorang abdi raja Kertajaya bernama Nada. Prasasti yang berbentuk sajak sebanyak 19 baik ini isi pokoknya dapat dirinci menjadi 5 hal, yaitu :

  1. Pada suatu saat ada seorang pendeta yang benama Arrya Bharad bertugas membagi Jawa menjadi 2 bagian, yang kemudian masing-masing diberi nama Jenggala dan Panjalu. Pembagian kekuasaan ini dilakukan karena ada perebutan kekuasaan diantara putra mahkota.
  2. Pada masa pemerintahan raja Jayacriwisnuwardhana dan permaisurinya, Crijayawarddhani, kedua daerah itu disatukan kembali.
  3. Pentahbisan raja (yang memerintahkan membuat prasasti) sebagai Jina dengan gelar Cri Jnanjaciwabajra. Perwujudan sebagai Jina Mahasobya didirikan di Wurare pada 1211 Saka.
  4. Raja dalam waktu singkat berhasil kembali menyatukan daerah yang telah pecah, sehingga kehidupan menjadi sejahtera.
  5. Penyebutan si pembuat prasasti yang bernama Nada, sebagai abdi raja.

Beberapa data tersebut jka dipadukan dengan data-data sejarah yang lain seperti kitab Negarakretagama, Pararaton, dan prasasti-prasasti yang lain, akan menghasilkan kerangka sejarah yang gambling. Sebelumnya kita tinjau kembali lima tokoh yang disebutkan dalam prasasti Wurare tersebut. Kelima tokoh tersebut adalah Arrya Bharad, Jayacriwisnuwarddhana yang disebut juga dengan nama Crihariwarddhana, Crijayawarddhani, Raja (yang memerintah membuat prasasti), dan Nada (sebagai pelaksana pembuat prasasti).

Siapa sebetulnya raja yang memerintah membuatkan prasati ini ? Jawabnya tidak lain adalah raja Kertanegara, yaitu raja Singosari terakhir. Dalam prasasti disebutkan bahwa ia adalah anak raja Crijayawisnuwarddhana dengan Crijayawarddhani. Nama Crijayawisnuwarddhana sekarang lebih dikenal dengan nama Wisnuwarddhana atau Ranggawuni.Kemudian Arrya Bharad, nama ini dikenal pada masa pemerintahan raja Airlangga. Sedangkan Nama sudah jelas disebutkan bahwa ia adalah abdi raja. Selanjutnya dari prasasti ini dapat diketahui data-data sejarah yang penting sebagai berikut :
Pada jaman kerajaan Medang, yaitu masa akhir pemerintahan raja Airlangga, tepatnya 963 Saka, terjadi pembagian kerajaan menjadi dua. Hal ini terpakasa dilakukan untuk menghindari perebutan kekuasaan diantara 2 putra mahkota. Pembagian kerajaan dilakukan oleh seorang pendeta yang sangat terkenal kesaktiannya, bernama Arrya Bharad. Caranya membasahi dan membelah bumi dengan air kendi yang berkilat, Kedua kerajaan ini dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas, dan masing-masing disebut kerajaan Jenggala dan Panjalu. Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas, dengan pelabuhan Surabaya, Rembang, dan Pasuruan. Ibukotanya adalah Kahuripan, yaitu bekas ibukota kerajaan Airlangga. Sedangkan kerajaan Panjalu, yang kemudian dikenal dengan nama Kediri, meliputi daerah Kediri dan Madiun. Ibukotanya Daha, yang mungkin didaerah Kediri sekarang.

Pada jaman kerajaan Singosari, tepatnya pada masa pemerintahan raja Wisnuwarddhana, kerajaan Panjalu dan Jenggala berusaha disatukan kembali dibawah kekuasaan kerajaan Singosari. Usaha yang dilakukan raja Wisnuwarddhana untuk mempersatukan tersebut dengan cara mengawinkan anaknya yang bernama Turukbali dengan Jayakatwang yang meupakan keturunan raja Kediri terakhir yaitu raja Kertajaya. Jayakatwang yang merasa bahwa ia adalah pewaris sah atas tahta Kdiri sehingga ia berusaha merebut kembali kekuasaannya.

Ulahnya yang selalu berusaha merebut kekuasaan itulah yang ingin dicegah raja Wisnuwarddhana dengan jalan mengadakan perkawinan politik tersebut. Usaha itu kemudian dilanjutkan oleh keturunannya yang bernama raja Kertanegara yang mengawinkan anaknya dengan anak Jayakatwang yang bernama Arddhara.

Kenyataan tetap membuktikan bahwa usaha yang baik tidak selalu lancar. Jayakatwang tetap berusaha merebut kekuasaan. Kertanegara dianggap sebagai orang yang tidak berhak atas tahta kerajaan. Cara yang ditempuh Kertanegara untuk menunjukkan bahwa ia adalah putra mahkota yang sah yaitu dengan menyebutkan Crijayawisnuwarddhana dan Crijayawarddhani sebagai orang tuanya dalam prasasti Wurare itu. Disamping itu, disebutkan bahwa Kertanegara adalah raja yang pandai dalam dharma dan sastra, serta sebagai pendeta dari keempat pulau. Ia dikukuhkan sebagai Jina Mahasobya dengan gelar Crijnanaciwabajra.

Maksud pengukuhannya sebagai Jina adalah untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesaran dirinya. Mahasobya adalah dewa Aksobhya tertinggi. Sebutan Kertanegara sebagai Mahasobhya berarti ia mempunyai sifat yang ada dalam diri Dewa Aksobhya dan emanasinya, yaitu mempunyai sifat damai, berkuasa, dan kekuasaannya yang tiada tandingannya. Sedangan gelarnya sebagai Cri Jnannaciwabajra dapat berarti bahwa ia adalah orang yang mempunyai pengalaman atau berpengalaman seperti Dewa Siwa, serta dapat memusnahkan kejahatan untuk kesejahteraan semua umat manusia.

Selain itu, gelar-gelar Kertnegara tersebut juga mempunyai latar belakang politik. Raja Kertanegara ingin menyaingi raja Kubilai Khan yang dikukuhkan sebagai Jina Mahamitabha. Persaingan ini timbul karena raja Kubilai Khan ingin berkuasa diseluruh Asia Tengara. Tetapi raja Kertanegara tidak mau tunduk begitu saja. Pada 1211 Saka, utusan dari raja Kubilai Khan bernama Meng-Ch’I, yang meminta pengakuan kekuasaan Kubilai Khan, ditolak dan disuruh pulang ke Mongol oleh raja Kertanegara. Semua itu dilakukan bertepatan dengan dibuatnya prasasti Wurare yang menyatakan kekuasaan dan kebesaran raja Kertanegara sebagai Jina Mahasobhya. Mahasobhya adalah Jina yang menguasai mata angin sebelah timur, sedangkan Mahamitabha menguasai mata angin sebelah barat. Dengan demikian Kubilai Khan menguasai wilayah bagian barat sedangkan Kertanegara menguasai wilayah bagian timur.

Dari semua keterangan tersebut dapat diketahui bahwa arca Joko Dolog merupakan perwujudan raja Kertanegara sendiri. Sedangkan prasasti yang dipahatkan mengelilingi lapiknya mengandung nilai sejarah politik yang penting. Terutama sebagai bukti bahwa bangsa kita sejak jaman dahulupun tidak mau begitu saja menyerah kepada penjajah asing. Juga berusaha menggalang persatuan untuk menegakkan kekuatan.

(dikutip dari Pemkot Surabaya)

Gereja Katedral



Pada 1859 dua imam Yesuit kali pertama berkarya di Surabaya. Yakni Romo Martinus van den Ellsen Sj dan Romo JB Palinckx SJ yang didukung bruder-bruder Aloysius. Pada 27 April 1914 sudah ada persiapan, penggalangan dana untuk pembangunan gereja, tapi belum ada kata sepakat gereja akan dibangun. Akhirnya, ditetapkan di Anita Boulevard dan Boschlaan, sekarang Jalan Polisi Istimewa.

Peletakan batu pertama oleh Romo Fleerakkers SJ. Desain gedung oleh Ed Cypres Bureau dengan denah berbentuk persegi panjang dan konstruksi bentuk basilika dibangun oleh arsitek Huswit-Fermont. Gereja berkapasitas 900 orang itu dibekati Mgr Edmundus Sybrandus Luypen SJ pada 21 Juli 1921. Umat Katolik saat itu 2.000 orang.

Pada 8 Desember 1987 dibangun Gua Maria di samping gereja. Ini gagasan Romo Reksosubroto yang waktu itu menjabat pastor paroki.

Masjid Cheng Ho

Eksistensi masjid ini lahir dari inisiatif tokoh-tokoh PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Masjid Cheng Ho dibangun di komplek PITI, JL. Gading Surabaya. Layaknya bangunan khas Tiongkok, maka warna merah dan kuning emas mendominasi bangunan masjid.

Namun demikian, masjid ini terbuka bagi semua kegiatan masyarakat muslim. Bentuk masjid yang jadi acuan adalah masjid Niu Jie di Beijing yang dibangun pada tahun 996 masehi. Sedang nama masjid, Masjid Muhammad Cheng Ho, terilhami dari nama

Cheng Ho (panglima perang) yang kemudian menjadi penyebar agama Islam yang dakwahnya sampai ke Indonesia.
(dikutip dari Pemkot Surabaya)

Masjid Kemayoran

Di Surabaya fasilitas peribadatan sebelum 1905 menunjukkan bahwa penduduk Surabaya sudah membentuk suatu pengelompokan etnis. Hal ini nampak jelas pada letak tempat-tempat peribadatan yang ada di Surabaya.

Salah satunya adalah Masjid Kemayoran yang terletak di Jalan Kemayoran ini berada dikawasan masyarakat yang mayoritas warga Arab. Dimana hal ini disebabkan dekatnya jalan Kemayoran dengan pelabuhan tanjung perak sehingga banyak sekali pendatang yang ingin berdagang ataupun ingin mensyi'arkan agama Islam di tanah Jawa yang memerlukan fasilitas untuk beribadah.

Masjid Kemayoran pada abad ke 19 merupakan bagian dari komplek alun-alun (masjid letaknya di sebelah barat alun-alun). Alun-alun kota Surabaya pada saat itu di sekitar jalan Pasar Besar (dulu bernama Aloen-aloen Straat).

Masjid Kemayoran sampai dengan tahun 1905 merupakan Masjid terbesar pertama di Surabaya. Masjid ini dibangun pada tahun 1844-1848 dengan gaya arsitektur Jawa kuno, yang memiliki bangunan utama sebagai tempat untuk beribadah dan dua menara yang berada di sisi kiri dan kanan bangunan utama dengan tinggi menara sekitar 70 kaki. Menara tersebut biasa digunakan untuk meletakkan pengeras suara ataupun bedug untuk menunjukkan waktu sholat telah tiba. Perancang dan ide pembangunan Masjid Kemayoran adalah warga dari Belanda JWB. Wardenaar (1786-1869).

Pada saat ini Masjid Kemayoran hanya memiliki satu menara karena satu menara yang lain runtuh akibat disambar petir. Dan Masjid Kemayoran yang saat ini berdiri sudah merupakan bangunan baru yang dibangun diatas reruntuhan Masjid Kemayoran yang lama. Demi menjaga kelestarian dan sejarah gaya bangunan Masjid Kemayoran yang baru tidak begitu jauh berbeda dengan gaya bangun lama.

(tulisan dikutip dari Pemkot Surabaya)

Klenteng Hong Tiek Hian

Menurut cerita yang beredar hingga saat ini, mengatakan bahwa Klenteng Hong Tiek Hian dibangun oleh tentara Tartar pada zaman Khu Bilai Khan pada awal pendirian kerajaan Majapahit. Klenteng Hong Tiek Hian juga merupakan klenteng paling tua di Surabaya yang dibangun di wilayah Chinese Kamp (Pecinan).

Tempat ibadah orang-orang Khong Hu Chu ini sangat ramai dikunjungi hampir setiap harinya. Setelah orang-orang Khong Hu Chu selesai melakukan sembahyang, mereka juga dapat menikmati pertunjukan wayang Pho Tee Hi dengan cerita-cerita Mandarin.

Klenteng Hong Tiek Hian atau Klenteng Dukuh , terletak di jalan Dukuh GG.II/ 2 dan jalan Dukuh N0.23/ i.

Selain itu, di Surabaya juga terdapat sebuah arca yang dinamakan Mahasobya. Arca Budha Mahasobya ini berasal dari Kandang Gajak. Pada 1817 dipindahkan ke Surabaya oleh Residen de Salis. Daerah kandang Gajak dulu merupakan wilayah Kedoeng Wulan, yaitu daerah dibawah kekuasaan Majapahit. Pada masa penjajahan Belanda termasuk dalam Karesidenan Surabaya, sedangkan masa sekarang termasuk wilayah desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto “ Jawa Timur.

Arca Budha Mahasobya, yang terkenal dengan nama Joko Dolog ini, sekarang banyak dikunjungi orang-orang yang mohon berkah. Namun jika melihat lapiknya, disebut prasati Wurare, sangat menarik karena memuat beberapa data sejarah di masa lampau. Angka prasasti menunjukkan 1211 Saka dan ditulis oleh seorang abdi raja Kertajaya bernama Nada.

(tulisan dikutip dan gambar diambil dari Pemkot Surabaya dan mediaindonesia.com)

Pura Jagad Karana

Pura merupakan tempat ibadah bagi umat Hindu. Bagi umat Hindu yang tinggal di Surabaya ataupun pendatang yang ingin melakukan sembahyang dapat melaksanakan di Pura Jagad Karana ini. Tempatnya yang jauh dari keramaian kota akan semakin menambah kekhidmatan umat Hindu dalam menjalankan ibadah.

Pura Jagad Karana berada di jalan Gresik-Surabaya. Pura Jagad Karana ramai dikunjungi oleh umat Hindu umumnya pada hari sabtu malam, Galungan, Kuningan, Nyepi, Saraswati dan lain sebagainya. Bentuk Pura Jagad Karana ini dikelilingi oleh benteng yang cukup tinggi. Dan Pura Jagad Karana dibangun diatas tanah lapang dimana tanah sekitarnya telah dipaving sebagai tempat ibadah umat Hindu.

Agar nampak asri sepanjang jalan masuk di tanami dengan beberapa tanaman hias. Suasana Pura Jagad Karana akan lebih terasa di Bali pada saat hari-hari raya umat Hindu.

(dikutip dari Pemkot Surabaya)

Gereja Katolik kelahiran Santa Perawan Maria

Bentuk bangunannya yang artistik dan bergaya ghotik merupakan perpaduan arsitektur yang sangat menarik dan unik dikalangan arsitektur bangunan. Gereja Katholik kelahiran Santa Perawan Maria merupakan gereja yang cukup tua di kota Surabaya.

Sebelum dibangunnya Gereja Katholik kelahiran Santa Perawan Maria ini, sudah dibangun sebuah Gereja Katholik pertama di Surabaya bergaya Eropa yang terletak dipojok jalan Kepanjen dan Kebonrojo.

Pada awalnya dua orang pastor pada tanggal 12 Juli 1810, Hendricus Waanders dan Phillipus Wedding datang dari Belanda dengan kapal ke Surabaya. Yang kemudian Pastor Wedding pergi ke Batavia. Dan Pastor Waanders menetap di Surabaya.

Pastor Waanders sering mengaadakan misa untuk umat Katholik di Surabaya. Yang kemudian dari hari ke hari jumlah jema'at Katholik semakin bertambah yang kemudian membuat umat Katholik berencana membangun sebuah gereja katholik.

Dan baru pada tahun 1822, umat Katholik dapat merealisasikan membangun sebuah gereja pertama dipojok Roomsche Kerkstraat/ Komedie weg (Kepanjen/ Kebonrojo). Namun belakangan gereja Katholik pertama ini dipindah ke gedung baru di sebelah utaranya, tepatnya di jalan Kepanjen Kelurahan Krembangan Selatan di wilayah Surabaya Utara. Hal ini dikarenakan gereja yang lama rusak.

Dibawah ini adalah Buku Pembaptisan yang terdapat di Gereja Katolik Santa Perawan Maria, masih terlihat seperti aslinya. Ditemukan kembali oleh Romo Thomas ketika hendak merenovasi Gereja di Tahun 1989.

(dikutip dari Pemkot Surabaya dan gambar diambil dari republika.co.id dan jawapos.com)

Masjid Agung Ampel

Bagi peziarah kawasan Sunan Ampel sangat dikenal hingga pelosok nusantara. Paling menyolok adalah keberadaan Kampung Arab. Sesuai namanya, kawasan ini sebagian besar ditempati oleh keturunan Arab Yaman yang sudah menetap ratusan tahun.

Ampel memang selalu sibuk, bahkan sejak ratusan tahun lalu, oleh para saudagar Arab dan Cina yang datang untuk berdagang.

Masjid Ampel sendiri didirikan pada tahun 1421 oleh Raden Mohammad Ali Rahmatullah alias Sunan Ampel dengan dibantu kedua sahabat karibnya, Mbah Sholeh dan Mbah Sonhaji ( Mbah Bolong ), dan para santrinya. Di atas sebidang tanah di Desa Ampel (sekarang Kelurahan Ampel ) Kecamatan Semampir sekitar 2 kilometer ke arah Timur Jembatan Merah

Sayangnya, ihwal tentang kapan selesainya pembangunan Masjid Ampel ini, tidak ada satupun sumber yang menyebutkannya.

Masjid dan makam Sunan Ampel dibangun sedemikian rupa agar orang- yang ingin melakukan sholat di masjid dan berziarah dapat merasa nyaman dan tenang. Hal ini tampak jelas dengan dibangunnya lima Gapuro (Pintu Gerbang) yang merupakan simbol dari Rukun Islam.

Dari arah selatan tepatnya di jalan Sasak terdapat Gapuro bernama Gapuro Munggah, suasana perkampungan yang katanya mirip dengan pasar Seng di Masjidil Haram Makkah. Menggambarkan bahwa seorang muslim wajib menunaikan rukun islam yang kelima jika mampu.

Setelah melewati lorong perkampungan yang menjadi kawasan pertokoan yang menyediakan segala kebutuhan mulai busana muslim, parfum, kurma dan berbagai asesoris, akan terlihat sebuah Gapuro Poso (Puasa) yang terletak di selatan Masjid Sunan Ampel.

Setelah melewati Gapuro Poso, baru terlihat bangunan utama, yaitu Masjid

Masjid sudah empat kali dipugar, tetapi keaslian bangunan ini yang ditandai dengan ke-16 tiang utamanya ( panjang 17 meter tanpa sambungan, diameter 60 centimeter ) dan 48 pintu itu tetap dipelihara dan dirawat, agar jangan sampai turut direnovasi. Karena selain merupakan peninggalan sejarah, tiang tersebut juga memiliki makna. Tujuh belas ( panjang tiang ) menunjukan jumlah raka'at shalat dalam sehari yang merupakan tiang agama Islam. Hingga kini tiang penyangga ini masih kokoh, padahal umurnya sudah lebih dari 600 tahun.

Menara setinggi lima puluh meter juga menjadi ciri khas masjid ini. Dahulu memang belum ada alat pengeras suara, sehingga semakin tinggi menara semakin baik, agar suara azan bisa terdengar. Kubah berbentuk pendopo Jawa adalah perlambang kejayaan Majapahit, yang saat itu juga berperan menyebarkan agama Islam bersama Sunan Ampel.

Keluar dari masjid akan terlihat Gapuro lagi yang bernama Gapuro Ngamal. Disini orang-orang dapat bershodaqoh sesuai dengan kemampuan dan keikhlasan. Shodaqoh tersebut juga digunakan untuk pelestarian dan kebersihan kawasan Masjid dan Makam, menggambarkan rukun Islam tentang wajib zakat.

Tak jauh dari tempat itu akan terlihat Gapuro Madep letaknya persis di sebelah barat Masjid Induk. Disebelah kanan terdapat makam Mbah Shanhaji ( Mbah Bolong ) yang menentukan arah kiblat Masjid Agung Sunan Ampel. Menggambarkan bahwa pelaksanaan sholat menghadap kiblat

setelah itu ada Gapuro Paneksen untuk masuk ke kompleks makam. Ini menggambarkan sebagai syahadat " Bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah "

Kompleks makam dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih.

Di tempat ini juga terdapat sumur bersejarah yang kini sudah ditutup dengan besi. Banyak yang meyakini air dari sumur ini memiliki kelebihan seperti air zamzam di Mekkah. Banyak masyarakat yang minum dan mengambil untuk kemudian dibawa pulang.

(dikutip dari mupeng.com dan indosiar.com)

Rabu, 27 Mei 2009

Masjid Al-Akbar

Merupakan masjid terbesar di Surabaya dengan gaya arsitektur yang unik dan modern, berada di selatan Surabaya wilayah Pagesangan dekat dengan jalan tol Surabaya-Gempol.

Masjid Al-Akbar Surabaya berdiri diatas tanah seluas 11,2 hektar dengan luas bangunan 28.509 meter persegi. Kesan unik dari bangunan ini terletak pada desain kubah masjid yang unik seperti struktur daun dengan kombinasi warna hijau dan biru yang memberikan kesan sejuk dan segar. Memiliki sebuah bangunan utama dan dua bangunan lain yang dapat menembus langsung ke bangunan utama. Dibangun pula sebuah menara dengan dilengkapai lift didalamnya yang dibuka untuk umum. Dari menara ini dapat dinikmati pemandangan kota Surabaya yang sangat indah terutama dimalam hari karena banyaknya lampu kota dari gedung-gedung yang ada di Surabaya. Masjid ini di resmikan pada tanggal 10 Nopember 2000 oleh Presiden RI yang saat itu di jabat oleh Bapak Abdul Rachman Wachid.

Disekitar masjid ramai sekali dikunjungi oleh warga Surabaya dan para pendatang khususnya di hari-hari libur baik munggu atau libur nasional. Banyak warga yang melakukan kegiatan olah raga disekitar lingkungan masjid Al Akbar ini.

Di seputar Masjid Al Akbar juga ada pasar subuh yang menjual aneka kebutuhan pokok, makanan, minuman, alat-alat rumah tangga, mainan anak-anak, kelontong, baju dan lain-lainnya.

(dikutip dari Pemkot Surabaya)