Kamis, 28 Mei 2009

Joko Dolog

Ditengah kota Surabaya, tepatnya di Taman Apsari, yaitu di jalan Joko Dolog, terdapat beberapa peninggalan kuno yang merupakan warisan budaya nenek moyang. Salah satu peninggalan tersebut adalah arca Budha Mahasobya yang lebih dikenal dengan nama JOKO DOLOG. Pada lapiknya terdapat prasasti yang merupakan sajak, memakai huruf Jawa kuno, dan berbahasa Sansekreta. Dalam prasasti tersebut disebutkan tempat yang bernama Wurare, sehingga prasastinya disebut dengan nama prasastiWurare.

Arca Budha Mahasobya ini berasal dari Kandang Gajak. Pada 1817 dipindahkan ke Surabaya oleh Residen de Salis. Daerah kandang Gajak dulu merupakan wilayah Kedoeng Wulan, yaitu daerah dibawah kekuasaan Majapahit. Pada masa penjajahan Belanda termasuk dalam Karesidenan Surabaya, sedangkan masa sekarang termasuk wilayah desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur.

Arca Budha Mahasobya, yang terkenal dengan nama Joko Dolog ini, sekarang banyak dikunjungi orang-orang yang mohon berkah. Namun jika melihat lapiknya, disebut prasati Wurare, sangat menarik karena memuat beberapa data sejarah di masa lampau.

Angka prasasti menunjukkan 1211 Saka dan ditulis oleh seorang abdi raja Kertajaya bernama Nada. Prasasti yang berbentuk sajak sebanyak 19 baik ini isi pokoknya dapat dirinci menjadi 5 hal, yaitu :

  1. Pada suatu saat ada seorang pendeta yang benama Arrya Bharad bertugas membagi Jawa menjadi 2 bagian, yang kemudian masing-masing diberi nama Jenggala dan Panjalu. Pembagian kekuasaan ini dilakukan karena ada perebutan kekuasaan diantara putra mahkota.
  2. Pada masa pemerintahan raja Jayacriwisnuwardhana dan permaisurinya, Crijayawarddhani, kedua daerah itu disatukan kembali.
  3. Pentahbisan raja (yang memerintahkan membuat prasasti) sebagai Jina dengan gelar Cri Jnanjaciwabajra. Perwujudan sebagai Jina Mahasobya didirikan di Wurare pada 1211 Saka.
  4. Raja dalam waktu singkat berhasil kembali menyatukan daerah yang telah pecah, sehingga kehidupan menjadi sejahtera.
  5. Penyebutan si pembuat prasasti yang bernama Nada, sebagai abdi raja.

Beberapa data tersebut jka dipadukan dengan data-data sejarah yang lain seperti kitab Negarakretagama, Pararaton, dan prasasti-prasasti yang lain, akan menghasilkan kerangka sejarah yang gambling. Sebelumnya kita tinjau kembali lima tokoh yang disebutkan dalam prasasti Wurare tersebut. Kelima tokoh tersebut adalah Arrya Bharad, Jayacriwisnuwarddhana yang disebut juga dengan nama Crihariwarddhana, Crijayawarddhani, Raja (yang memerintah membuat prasasti), dan Nada (sebagai pelaksana pembuat prasasti).

Siapa sebetulnya raja yang memerintah membuatkan prasati ini ? Jawabnya tidak lain adalah raja Kertanegara, yaitu raja Singosari terakhir. Dalam prasasti disebutkan bahwa ia adalah anak raja Crijayawisnuwarddhana dengan Crijayawarddhani. Nama Crijayawisnuwarddhana sekarang lebih dikenal dengan nama Wisnuwarddhana atau Ranggawuni.Kemudian Arrya Bharad, nama ini dikenal pada masa pemerintahan raja Airlangga. Sedangkan Nama sudah jelas disebutkan bahwa ia adalah abdi raja. Selanjutnya dari prasasti ini dapat diketahui data-data sejarah yang penting sebagai berikut :
Pada jaman kerajaan Medang, yaitu masa akhir pemerintahan raja Airlangga, tepatnya 963 Saka, terjadi pembagian kerajaan menjadi dua. Hal ini terpakasa dilakukan untuk menghindari perebutan kekuasaan diantara 2 putra mahkota. Pembagian kerajaan dilakukan oleh seorang pendeta yang sangat terkenal kesaktiannya, bernama Arrya Bharad. Caranya membasahi dan membelah bumi dengan air kendi yang berkilat, Kedua kerajaan ini dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas, dan masing-masing disebut kerajaan Jenggala dan Panjalu. Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas, dengan pelabuhan Surabaya, Rembang, dan Pasuruan. Ibukotanya adalah Kahuripan, yaitu bekas ibukota kerajaan Airlangga. Sedangkan kerajaan Panjalu, yang kemudian dikenal dengan nama Kediri, meliputi daerah Kediri dan Madiun. Ibukotanya Daha, yang mungkin didaerah Kediri sekarang.

Pada jaman kerajaan Singosari, tepatnya pada masa pemerintahan raja Wisnuwarddhana, kerajaan Panjalu dan Jenggala berusaha disatukan kembali dibawah kekuasaan kerajaan Singosari. Usaha yang dilakukan raja Wisnuwarddhana untuk mempersatukan tersebut dengan cara mengawinkan anaknya yang bernama Turukbali dengan Jayakatwang yang meupakan keturunan raja Kediri terakhir yaitu raja Kertajaya. Jayakatwang yang merasa bahwa ia adalah pewaris sah atas tahta Kdiri sehingga ia berusaha merebut kembali kekuasaannya.

Ulahnya yang selalu berusaha merebut kekuasaan itulah yang ingin dicegah raja Wisnuwarddhana dengan jalan mengadakan perkawinan politik tersebut. Usaha itu kemudian dilanjutkan oleh keturunannya yang bernama raja Kertanegara yang mengawinkan anaknya dengan anak Jayakatwang yang bernama Arddhara.

Kenyataan tetap membuktikan bahwa usaha yang baik tidak selalu lancar. Jayakatwang tetap berusaha merebut kekuasaan. Kertanegara dianggap sebagai orang yang tidak berhak atas tahta kerajaan. Cara yang ditempuh Kertanegara untuk menunjukkan bahwa ia adalah putra mahkota yang sah yaitu dengan menyebutkan Crijayawisnuwarddhana dan Crijayawarddhani sebagai orang tuanya dalam prasasti Wurare itu. Disamping itu, disebutkan bahwa Kertanegara adalah raja yang pandai dalam dharma dan sastra, serta sebagai pendeta dari keempat pulau. Ia dikukuhkan sebagai Jina Mahasobya dengan gelar Crijnanaciwabajra.

Maksud pengukuhannya sebagai Jina adalah untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesaran dirinya. Mahasobya adalah dewa Aksobhya tertinggi. Sebutan Kertanegara sebagai Mahasobhya berarti ia mempunyai sifat yang ada dalam diri Dewa Aksobhya dan emanasinya, yaitu mempunyai sifat damai, berkuasa, dan kekuasaannya yang tiada tandingannya. Sedangan gelarnya sebagai Cri Jnannaciwabajra dapat berarti bahwa ia adalah orang yang mempunyai pengalaman atau berpengalaman seperti Dewa Siwa, serta dapat memusnahkan kejahatan untuk kesejahteraan semua umat manusia.

Selain itu, gelar-gelar Kertnegara tersebut juga mempunyai latar belakang politik. Raja Kertanegara ingin menyaingi raja Kubilai Khan yang dikukuhkan sebagai Jina Mahamitabha. Persaingan ini timbul karena raja Kubilai Khan ingin berkuasa diseluruh Asia Tengara. Tetapi raja Kertanegara tidak mau tunduk begitu saja. Pada 1211 Saka, utusan dari raja Kubilai Khan bernama Meng-Ch’I, yang meminta pengakuan kekuasaan Kubilai Khan, ditolak dan disuruh pulang ke Mongol oleh raja Kertanegara. Semua itu dilakukan bertepatan dengan dibuatnya prasasti Wurare yang menyatakan kekuasaan dan kebesaran raja Kertanegara sebagai Jina Mahasobhya. Mahasobhya adalah Jina yang menguasai mata angin sebelah timur, sedangkan Mahamitabha menguasai mata angin sebelah barat. Dengan demikian Kubilai Khan menguasai wilayah bagian barat sedangkan Kertanegara menguasai wilayah bagian timur.

Dari semua keterangan tersebut dapat diketahui bahwa arca Joko Dolog merupakan perwujudan raja Kertanegara sendiri. Sedangkan prasasti yang dipahatkan mengelilingi lapiknya mengandung nilai sejarah politik yang penting. Terutama sebagai bukti bahwa bangsa kita sejak jaman dahulupun tidak mau begitu saja menyerah kepada penjajah asing. Juga berusaha menggalang persatuan untuk menegakkan kekuatan.

(dikutip dari Pemkot Surabaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar